Kota Kupang - Pada dasarnya kesatuan masyarakat hukum adat terbentuk berdasarkan tiga prinsip dasar, yaitu genealogis, teritorial, dan/atau gabungan genealogis dengan teritorial. Yang diatur dalam Undang-Undang UU No. 6 tahun 2014 tentang desa adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang merupakan gabungan antara genealogis dan teritorial.
Berkaitan dengan hal itu, negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Implementasi dari kesatuan masyarakat hukum adat tersebut telah ada dan hidup di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, seperti huta/nagori di Sumatera Utara, gampong di Aceh, nagari di Minangkabau, marga di Sumatera bagian selatan, tiuh atau pekon di Lampung, desa pakraman/desa adat di Bali, lembang di Toraja, banua dan wanua di Kalimantan, dan negeri di Maluku.
Penetapan Desa Adat dan sebagaimana dimaksud di atas, menjadi acuan utama saya adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yaitu:
a. Putusan Nomor 010/PUU-l/2003 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 53 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi, dan Kota Batam;
b. Putusan Nomor 31/PUU-V/2007 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kota Tual Di Provinsi Maluku;
c. Putusan Nomor 6/PUU-Vl/2008 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Buol, Kabupaten Morowali, dan Kabupaten Banggai Kepulauan; dan
d. Putusan Nomor 35/PUU–X/2012 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Menurut saya yang menjadi permasalahan yaitu :
1. Bagaimana agar masyarakat hukum adat mendapatkan pengakuan dan perlindungan?
2. Bagaimana cara mendaftarkan tanah ulayat masyarakat hukum adat?
3. Bagaimana cara menetapkan desa adat masyarakat hukum adat?
Dari permasalahan tersebut dapat kita lihat dasar hukumnya yaitu,
1. UUD 1945
2. UU NO. 5 TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA
3. UU NO. 41 TAHUN 1966 TENTANG KEHUTANAN
4. UU NO. 32 2004 TENTANG PEMERINTAH DAERAH
5. UU NO. 6 TENTANG DESA
6. PP NO. 47 TAHUN 2015 PERUBAHAN ATAS PP NO. 43 TAHUN 2014 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UU DESA
7. PERMENDAGRI NO. 52 TAHUN 2014 TENTANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT HUKUM ADAT
8. PERMENDAGRI NO. 18 TAHUN 2018 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN LEMBAGA ADAT DESA ( Penjelasan atas UU No. 6 tahun 2014 tentang desa)
Dengan demikian kita lihat defenisi masyarakat hukum adat yang terdiri dari,
1. Masyarakat Hukum Adat menurut Prof. Hazairin, Guru Besar Hukum Adat Universitas Indonesia adalah kesatuan-kesatuan kemasyarakatan yang mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa, dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya.
2. Kesatuan Masyarakat Hukum Adat adalah sekelompok orang yang memiliki identitas budaya yang sama, hidup secara turun temurun di wilayah geografis tertentu berdasarkan ikatan asal usul leluhur dan/atau kesamaan tempat tinggal, memiliki harta kekayaan dan/atau benda adat milik bersama serta sistem nilai yang menentukan pranata adat dan norma hukum adat sepanjang masih hidup sesuai perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3. Masyarakat Hukum Adat adalah Warga Negara Indonesia yang memiliki karakteristik khas, hidup berkelompok secara harmonis sesuai hukum adatnya, memiliki ikatan pada asal usul leluhur dan atau kesamaan tempat tinggal, terdapat hubungan yang kuat dengan tanah dan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, social, budaya, hukum dan memanfaatkan satu wilayah tertentu secara turun menurun.
Dengan defenisi tanah ulayatHak Ulayat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat atau yang serupa itu adalah hak Kesatuan Masyarakat Hukum Adat yang bersifat komunal untuk menguasai, mengelola dan/atau memanfaatkan, serta melestarikan wilayah adatnya sesuai dengan tata nilai dan hukum adat yang berlaku.
Tanah Ulayat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat adalah tanah persekutuan yang berada di wilayah masyarakat hukum adat yang menurut kenyataannya masih ada
Wilayah adat adalah tanah adat yang berupa tanah, air, dan atau perairan beserta sumber daya alam yang ada di atasnya dengan batas-batas tertentu, dimiliki, dimanfaatkan dan dilestarikan secara turun-menurun dan secara berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat yang diperoleh melalui pewarisan dari leluhur mereka atau gugatan kepemilikan berupa tanah ulayat atau hutan adat.
PASAL 18B AYAT (2) UUD 1945
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang”
PASAL 33 AYAT (3) UUD 1945
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”
UU NO. 5 TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA (UUPA)
Pasal 2 ayat (1) UU NO. 5 TAHUN 1960
2 Pasal 1 ayat (1) Permen ATR/BPN No. 18 tahun 2019
3 Pasal 1 ayat (1) Permendagri No. 52 tahun 2014
4 Pasal 1 ayat (2) Permen ATR/BPN No. 18 tahun 2019
5 Pasal 1 ayat (3) Permen ATR/BPN No. 18 tahun 2019
6 Pasal 1 ayat (2) Permendagri No. 52 tahun 2014
Pasal 2 ayat (4) UU NO. 5 TAHUN 1960
“Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.”
Pasal 3 UU NO. 5 TAHUN 1960
“Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya. masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan- peraturan lain yang lebih tinggi.”
Penjelasan Pasal 3 UUPA dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan "hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu" ialah apa yang di dalam perpustakaan hukum adat disebut "beschikkingsrecht".
UU No.41 tahun 199 tentang Kehutanan
PASAL 4 AYAT (3) UU NO. 41 TAHUN 1999
Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.
PASAL 5 AYAT (4) UU NO. 41 TAHUN 1999
Apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada Pemerintah
PASAL 67 UU NO. 41 TAHUN 1999
1) Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak: a. melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan; b. melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan c. mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.
2) Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
PENJELASAN PASAL 67 UU NO. 41 TAHUN 1999
1) Masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, jika menurut kenyataannya memenuhi unsur antara lain: a. masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechsgemeenschap); b. ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya; c. ada wilayah hukum adat yang jelas; d. ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaat; dan e. masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
2) Peraturan Daerah disusun dengan mempertimbangkan hasil penelitian para pakar hukum adat, aspirasi masyarakat setempat, dan tokoh masyarakat adat yang ada di daerah yang bersangkutan, serta instansi atau pihak lain yang terkait.
3) Peraturan Pemerintah memuat aturan antara lain: a. tata cara penelitian, b. pihak-pihak yang diikutsertakan, c. materi penelitian, dan d. kriteria, penilaian keberadaan masyarakat hukum adat.
UU NO. 31 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAH DAERAH
PASAL 2 AYAT (9) UU NO. 31 TAHUN 2004
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
PASAL 203 AYAT (3) UU NO. 31 TAHUN 2004
“Pemilihan kepala desa dalam kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan yang diakui keberadaannya berlaku ketentuan hukum adat setempat yang ditetapkan dalam Perda dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah.
PERMENDAGRI NO. 52 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT HUKUM ADAT
PASAL 2 PERMENDAGRI NO. 52 TAHUN 2014
“Gubernur dan bupati/walikota melakukan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat”
PASAL 3 PERMENDAGRI NO. 52 TAHUN 2014
“Dalam melakukan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat, bupati/walikota membentuk Panitia Masyarakat Hukum Adat kabupaten/kota”.
1. PERMENDAGRI NO. 52 TAHUN 2014 TENTANG TAHADAPAN PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN
PASAL 4 PERMENDAGRI NO. 52 TAHUN 2014
Pengakuan dan perlindungan sebagaimana dalam Pasal 2 dilakukan melalui tahapan:
a. Identifikasi Masyarakat Hukum Adat;
b. Verifikasi dan validasi Masyarakat Hukum Adat; dan
c. Penetapan Masyarakat Hukum Adat.
PASAL 5 PERMENDAGRI NO. 52 TAHUN 2014
1) Bupati/Walikota melalui Camat atau sebutan lain melakukan identifikasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 huruf a dengan melibatkan masyarakat hukum adat atau kelompok masyarakat.
2) Identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mencermati:
a. sejarah Masyarakat Hukum Adat;
b. wilayah Adat;
c. hukum Adat;
d. harta kekayaan dan/atau benda-benda adat; dan
e. kelembagaan/sistem pemerintahan adat.
3) Hasil identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan verifikasi dan validasi oleh Panitia Masyarakat Hukum Adat kabupaten/kota.
4) Hasil verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diumumkan kepada Masyarakat Hukum Adat setempat dalam waktu 1 (satu) bulan.
PASAL 6 PERMENDAGRI NO. 52 TAHUN 2014
1) Panitia Masyarakat Hukum Adat kabupaten/kota menyampaikan rekomendasi kepada Bupati/Walikota berdasarkan hasil verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4).
2) Bupati/walikota melakukan penetapan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat berdasarkan rekomendasi Panitia Masyarakat Hukum Adat dengan Keputusan Kepala Daerah.
3) Dalam hal masyarakat hukum adat berada di 2 (dua) atau lebih kabupaten/kota, pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat ditetapkan dengan Keputusan Bersama Kepala Daerah.
2. PERMENDAGRI NO. 52 TAHUN 2014 TENTANG PENYELESAIAN SENGKETA
PASAL 7 PERMENDAGRI NO. 52 TAHUN 2014
1) Dalam hal Masyarakat Hukum Adat keberatan terhadap hasil verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4), maka masyarakat hukum adat dapat mengajukan keberatan kepada Panitia.
2) Panitia melakukan verifikasi dan validasi ulang terhadap keberatan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
3) Verifikasi dan validasi ulang terhadap keberatan masyarakat, hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali.
PASAL 8 PERMENDAGRI NO. 52 TAHUN 2014
1) Dalam hal Masyarakat Hukum Adat keberatan terhadap Keputusan Kepala Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dan ayat (3), dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara.
2) Penyelesaian sengketa atas pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
3. PERMENDAGRI NO. 52 TAHUN 2014 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
PASAL 9 PERMENDAGRI NO. 52 TAHUN 2014
1) Menteri Dalam Negeri melalui Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa melakukan pembinaan dan pengawasan pelaksanaan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat.
2) Gubernur melakukan pembinaan dan pengawasan pelaksanaan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat kabupaten/kota di wilayahnya.
3) Bupati/Walikota melakukan pembinaan dan pengawasan pelaksanaan pengakuan dan perlindungan kesatuan masyarakat hukum adat di wilayahnya.
PASAL 10 PERMENDAGRI NO. 52 TAHUN 2014
1) Bupati/walikota melaporkan penetapan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat kepada gubernur.
2) Gubernur melaporkan penetapan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat kabupaten/kota di wilayahnya kepada kepada Menteri melalui Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa sebagai bahan pengambilan kebijakan.
TATA CARA PENATAUSAHAAN TANAH ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT (MENGACU BERDASARKAN PERMENDAGRI NO. 52 TAHUN 2014)
PERMEN ATR/BPN NO. 18 TAHUN 2019 TENTANG PELAKSANAAN PENGUASAAN TANAH ULAYAT KESATUAN MASYARAKAT HUKUM ADAT (MHA)
PASAL 2 PERMEN ATR/BPN NO. 18 TAHUN 2019
1) Pelaksanaan Hak Ulayat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat atas Tanah di wilayahnya sepanjang pada kenyataannya masih ada, dilakukan oleh Kesatuan Masyarakat Hukum Adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adat setempat.
2) Hak Ulayat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap masih ada, apabila memenuhi kriteria tertentu meliputi unsur adanya:
a. masyarakat dan lembaga Hukum Adat;
b. wilayah tempat Hak Ulayat berlangsung;
c. hubungan, keterkaitan, dan ketergantungan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dengan wilayahnya; dan
d. kewenangan untuk mengatur secara bersama-sama pemanfaatan Tanah di wilayah Kesatuan Masyarakat Hukum Adat yang bersangkutan, berdasarkan hukum adat yang masih berlaku dan ditaati masyarakatnya.
3) Kesatuan Masyarakat Hukum Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c harus memenuhi syarat:
a. secara nyata masih hidup baik yang bersifat teritorial, genealogis, maupun yang bersifat fungsional;
b. sesuai dengan perkembangan masyarakat; dan
c. sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
PASAL 3 PERMEN ATR/BPN NO. 18 TAHUN 2019
Penetapan pengakuan dan perlindungan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
PASAL 4 PERMEN ATR/BPN NO. 18 TAHUN 2019
Pelaksanaan Hak Ulayat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 tidak berlaku terhadap bidang-bidang tanah yang pada saat ditetapkannya: a. sudah dipunyai oleh perseorangan atau badan hukum dengan sesuatu hak atas tanah; atau b. yang sudah diperoleh atau dibebaskan oleh instansi pemerintah, badan hukum atau perseorangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
PERMEN ATR/BPN NO. 18 TAHUN 2019 TENTANG PENATAUSAHAAN TANAH ULAYAT KESATUAN MASYARAKAT HUKUM ADAT (MHA)
PASAL 5 PERMEN ATR/BPN NO. 18 TAHUN 2019
1) Untuk menjamin kepastian hukum, Pemerintah menyelenggarakan Penatausahaan Tanah Ulayat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di seluruh wilayah Republik Indonesia.
2) Penatausahaan Tanah Ulayat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan penetapan pengakuan dan perlindungan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
3) Permohonan penatausahaan Tanah Ulayat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat diajukan kepada Kepala Kantor Pertanahan setempat.
4) Penatausahaan Tanah Ulayat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat, meliputi:
a. pengukuran;
b. pemetaan; dan
c. pencatatan dalam daftar tanah.
PASAL 6 PERMEN ATR/BPN NO. 18 TAHUN 2019
1) Pengukuran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) huruf a dilaksanakan terhadap batas-batas bidang Tanah Ulayat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat yang telah ditetapkan.
2) Setelah dilakukan pengukuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan Pemetaan atas bidang Tanah Ulayat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam peta pendaftaran tanah.
3) Pengukuran dan pemetaan dilaksanakan sesuai dengan kaidah pengukuran dan pemetaan bidang tanah.
4) Bidang Tanah Ulayat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat diberikan Nomor Identifikasi Bidang Tanah (NIB) dengan satuan wilayah Kabupaten/Kota.
5) Tanah Ulayat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dicatat dalam daftar tanah.
PENETAPAN DESA ADAT
PASAL 96 UU NO. 6 TAHUN 2014
“Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota melakukan penataan kesatuan masyarakat hukum adat dan ditetapkan menjadi Desa Adat.”
PASAL 97 UU NO. 6 TAHUN 2014
1) Penetapan Desa Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 memenuhi syarat:
a. kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya secara nyata masih hidup, baik yang bersifat teritorial, genealogis, maupun yang bersifat fungsional; b. kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya dipandang sesuai dengan perkembangan masyarakat; dan c. kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2) Kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya yang masih hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus memiliki wilayah dan paling kurang memenuhi salah satu atau gabungan unsur adanya: a. masyarakat yang warganya memiliki perasaan bersama dalam kelompok; b. pranata pemerintahan adat; c. harta kekayaan dan/atau benda adat; dan/atau d. perangkat norma hukum adat.
3) Kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dipandang sesuai dengan perkembangan masyarakat apabila: a. keberadaannya telah diakui berdasarkan undangundang yang berlaku sebagai pencerminan perkembangan nilai yang dianggap ideal dalam masyarakat dewasa ini, baik undang-undang yang bersifat umum maupun bersifat sektoral; dan b. substansi hak tradisional tersebut diakui dan dihormati oleh warga kesatuan masyarakat yang bersangkutan dan masyarakat yang lebih luas serta tidak bertentangan dengan hak asasi manusia.
4) Suatu kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia apabila kesatuan masyarakat hukum adat tersebut tidak mengganggu keberadaan Negara Kesatuan Republik lndonesia sebagai sebuah kesatuan politik dan kesatuan hukum yang: a. tidak mengancam kedaulatan dan integritas Negara Kesatuan Republik lndonesia; dan b. substansi norma hukum adatnya sesuai dan tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
PASAL 98 UU NO. 6 TAHUN 2014
1) Desa Adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
2) Pembentukan Desa Adat setelah penetapan Desa Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan faktor penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, serta pemberdayaan masyarakat Desa dan sarana prasarana pendukung.
PASAL 101 UU NO. 6 TAHUN 2014
1)Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi,dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat melakukan penataan Desa Adat.
2) Penataan Desa Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Peraturan Daerah.
3) Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai lampiran peta batas wilayah.
PASAL 103 UU NO. 6 TAHUN 2014
Kewenangan Desa Adat berdasarkan hak asal usul sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a meliputi: a. pengaturan dan pelaksanaan pemerintahan berdasarkan susunan asli; b. pengaturan dan pengurusan ulayat atau wilayah adat; c. pelestarian nilai sosial budaya Desa Adat; d. penyelesaian sengketa adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di Desa Adat dalam wilayah yang selaras dengan prinsip hak asasi manusia dengan mengutamakan penyelesaian secara musyawarah; e. penyelenggaraan sidang perdamaian peradilan Desa Adat sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; f. pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban masyarakat Desa Adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di Desa Adat; dan g. pengembangan kehidupan hukum adat sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat Desa Adat.
Penjelasan Pasal 103 Huruf B
“Yang dimaksud dengan “ulayat atau wilayah adat” adalah wilayah kehidupan suatu kesatuan masyarakat hukum adat.”
PASAL 107 UU NO. 6 TAHUN 2014
Pengaturan dan penyelenggaraan Pemerintahan Desa Adat dilaksanakan sesuai dengan hak asal usul dan hukum adat yang berlaku di Desa Adat yang masih hidup serta sesuai dengan perkembangan masyarakat dan tidak bertentangan dengan asas penyelenggaraan Pemerintahan Desa Adat dalam prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
PASAL 109 UU NO. 6 TAHUN 2014
Susunan kelembagaan, pengisian jabatan, dan masa jabatan Kepala Desa Adat berdasarkan hukum adat ditetapkan dalam Peraturan daerah Provinsi.
Penulis Herry F.F Battileo, SH,.MH adalah Advokat, Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Media Online Indonesia Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Pendiri dan Pengawas Lembaga Bantuan Hukum Surya NTT.